Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Abdurrahman Al-Amiry

Rabu, 08 Mei 2013

Tubuh Anjing Dan Air Liurnya Sama-Sama Najis?

Semalam seseorang menanyakan kepada saya melalui facebook, tentang hukum memegang tubuh anjing. Apakah itu termasuk najis ataukah  tidak. Yang mana, pada ujungnya apakah ia harus mencuci tangan yang menyentuh tubuh anjing atukah tidak, sebagaimana mencuci suatu barang yang tekena air liur anjing.  


Benar, bahwasanya air liur anjing adalah najis berat. Dan cara mencucinya pun berbeda dari mencuci bekas najis lainnya. Maka cara mencuci  suatu barang yang terkena air liur anjing adalah dengan mencucinya menggunakan air sebanyak 7 kali, dan pertamanya menggunakan tanah.  

Sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam suatu hadits,
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”[1]

Lantas, apakah bulu anjing atau tubuh bagian luar lainnya bisa diqiyaskan dengan air liur anjing?
Adapun menyatakan sama najisnya antara bulu dan air liur, maka itu suatu hal yang tidak mungkin karena air liur keluar dari dalam tubuh. Hal ini berbeda dengan bulu yang tumbuh di kulit.
Semua pakar fiqih juga telah membedakan kedua hal ini. Mayoritas ulama mengatakan bahwa bulu bangkai itu suci, berbeda dengan air liurnya.

Imam Syafi’i dan mayoritas pengikutnya mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh di tanah yang najis tetap suci.
Oleh karena itu, sebagaimana tumbuhan yang tumbuh di tanah yang najis tetap suci, begitu pula bulu anjing yang tumbuh di kulit yang najis lebih tepat dikatakan suci. Berbeda dengan tanaman, dia bisa mendapatkan pengaruh dari tanah yang najis, sedangkan bulu adalah sesuatu yang padat (keras) sehingga tidak mungkin dipengaruhi layaknya tanah.

Para pengikut Imam Ahmad seperti Ibnu ‘Aqil dan lainnya mengatakan bahwa tanaman (yang tumbuh di tanah yang najis) tetap suci, lebih-lebih lagi bulu hewan. Barangsiapa menyatakan tanaman tersebut najis maka ada perbedaan di antara keduanya sebagaimana yang telah disebutkan.
Jadi, setiap hewan yang dikatakan najis, maka pembicaraan mengenai rambut dan bulunya sebagaimana pembicaraan pada bulu anjing.
(Maka atas dasar ini, bulu babipun bukanlah suatu hal yang najis)

Dan imam Ahmad dan Abu hanifah berpendapat akan sucinya bulu anjing.

Dan ketahuilah, hukum asal segala sesuatu adalah suci. Sementara kita tidak boleh memvonis najis atau menyatakan sebagai benda haram, kecuali dengan dalil. Allah berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إلَّا مَا اُضْطُرِرْتُمْ إلَيْهِ
Allah telah menjelaskan dengan rinci segala sesuatu yang Dia haramkan untuk kalian, kecuali jika kalian terpaksa.” [2]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الحلال ما أحل الله في كتابه . والحرام ماحرم الله في كتابه . وما سكت عنه فهو عفا عنه
“Benda halal adalah segala sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, benda haram adalah segala sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan maka itu yang Dia bolehkan.” [3]
Jika Allah dan rasulNya tidak pernah menyatakan bahwasanya bulu anjing adalah suatu hal yang najis, maka atas dasar inilah bulu anjing adalah suatu hal yang suci.

Allahu ta’ala a’lam bis showab

PenulisMuhammad Abdurrahman Al Amiry

Artikel
alamiry.net (Kajian Al Amiry)


Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.


Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry



[1] HR Muslim
[2] QS Al-An’am
[3] HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah, dan dihasankan Al-Albani

Abdurrahman Al-Amiry adalah seorang penuntut ilmu dan pengkaji islam, serta mudir atau pimpinan ponpes Imam Al-Albani, Prabumulih, Sumsel. Keseharian beliau adalah mengajar dan berdakwah di jalan Allah. Beliau menghabiskan waktu paginya dengan mengajar para santri dan menghabiskan waktu malam dengan berdakwah lepas di berbagai masjid..

5 komentar:

  1. beberapa yg harus diperhatikan
    1. "bahwasanya air liur anjing adalah najis berat" ~ pembagian najis itu dari istnbath nya para ulama bukan dari rasulullah
    2. "Maka cara mencuci suatu barang yang terkena air liur anjing adalah dengan mencucinya menggunakan air sebanyak 7 kali, dan pertamanya menggunakan tanah" ~ ga semua barang yg terkena air liur anjing harus dicuci 7 kali... karena dalam hadits yg wajib dicuci 7 kali adalah bejana dan sejenis nya bukan smua barang... coba cari perkataan ulama yg mengatakan smua barang yg terkena air liur anjing harus dicuci 7 kali
    3. "Maka atas dasar ini, bulu babipun bukanlah suatu hal yang najis" ~ bukan nya babi itu najis karena dzat nya?? bukan air liur ato yg laen nya

    mungkin ini yg saya tw selama ini... maaf law ada salah dan saya menerima koreksian nya

    BalasHapus
  2. 1- Para ulama berpendapat najisnya air liur anjing. Mereka mengatakan wajibnya mencuci wadah maupun pakaian yang dijilat anjing. Terdapat dalil dari sunnah yang menjelaskan bagaimana seorang muslim menyucikan benda ketika terkena air liur anjing.

    Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

    إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم ، فليرقه ، ثم ليغسله سبع مرات

    “Apabila ada anjing yang menjilati wadah kalian maka buanglah isinya, kemudian hendaknya dia cuci sebanyak tujuh kali.”

    Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan: “… yang pertama menggunakan tanah” Yang dimaksud “menjilati” dalam hadits di atas adalah memasukkan lidahnya ke dalam air atau yang lainnya. Baik dia minum maupun tidak minum. Sehingga termasuk hal ini adalah menjilati bagian yang kering. Hadits ini secara tegas hanya menyebutkan bejana, sementara para ulama tidak membedakan antara bejana dengan yang lainnya. Imam Al-Iraqi mengatakan, “Yang disebutkan hanya bejana, karena itulah yang umumnya terjadi.”

    Oleh karena itu, wajib mencuci wadah atau pakaian sebanyak tujuh kali, yang pertama dicampur tanah. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dalam satu riwayat dan ini juga pendapat yang dikuatkan Muhammad bin Sirrin, Thawus, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan ulama lainnya. (Al-Majmu’, 2:586)



    BalasHapus
  3. 2- Daging Babi
    Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi najis atau tidaknya daging babi. Namun yang rajih (kuat) daging babi ini suci bukan najis. Ini merupakan pendapat Al-Imam Malik dan Dawud Adz-Dhahiri. (Tahqiq fi Ahaditsil Khilaf, 1/70)
    Mereka yang mengatakan daging babi najis berdalil dengan firman Allah I dalam surat Al-An‘am ayat 145:
    “Katakanlah; Dari apa yang diwahyukan kepadaku, aku tidak mendapatkan sesuatu yang diharamkan untuk memakannya kecuali bila makanan itu berupa bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena dia merupakan rijs atau merupakan sebab kefasikan dan keluar dari ketaatan atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…”
    Rijs dalam ayat di atas mereka maknakan dengan najis. Tapi yang benar maknanya adalah haram, karena memang demikian yang ditunjukkan dalam konteks ayat ini, di mana ayat ini menjelaskan perkara yang diharamkan untuk memakannya, bukan perkara yang najis. Dan sesuatu yang haram tidak berarti ia najis, bahkan terkadang didapati sesuatu yang haram itu suci. Seperti firman Allah I yang menyatakan haramnya menikahi ibu dan yang seterusnya dari ayat ini, sementara seorang ibu tidaklah najis.
    Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Tsa‘labah Al-Khasyani yang menunjukkan perintah untuk mencuci bekas bejana ahlul kitab dengan alasan mereka menggunakan bejana tersebut untuk memasak babi dan untuk minum khamr. Dalil mereka ini dijawab bahwa perintah mencuci bejana di sini bukan karena najisnya tapi untuk menghilangkan sisa makanan dan minuman yang diharamkan untuk mengkonsumsinya. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar (1/38).

    Bekas makanan dan minuman hewan
    Ibnul Mundzir t berkata: “Seluruh ahlul ilmi yang kami hafal berpandangan bahwa bekas makanan/minuman hewan yang dimakan dagingnya itu suci. Di antara yang kami hafal berpendapat demikian ini Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Ini merupakan pendapat ahlul Madinah dan ashabur ra`yi dari ahlul Kufah” (Al-Ausath 1/313). Bahkan dinukilkan dari beliau adanya ijma’ (kesepakatan) dalam masalah ini.
    Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya diperselisihkan oleh ahlul ilmi. Namun kebanyakan mereka, di antaranya Al-Imam Asy-Syafi‘i dan Malik, berpendapat sucinya bekas makanan/ minuman tersebut. Dan pendapat ini yang rajih, dengan alasan bahwasanya secara umum sulit untuk menghindar dari hewan-hewan ini, karena bejana-bejana milik penduduk di pedesaan terbuka sehingga didatangi oleh hewan-hewan liar ini dan minum darinya. Seandainya kita mengharuskan mereka untuk menumpahkan air tersebut dan mewajibkan mereka untuk mencuci bejana bekas jilatan hewan tersebut niscaya hal itu menyulitkan mereka. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/396)
    Pendapat ini berpegang dengan hukum asal, karena sesuatu itu dihukumi suci selama tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, warna, atau rasa).

    BalasHapus
  4. untuk masalah ini apakah ada dalil pengkhususan tentang air liur anjing najis bila kita sentuh,, bukankah hadits tersebut hanya mengatakan bahwa bejana saja yg harus dibasuh 7kali bila terkena liur anjing..

    jika memang konteksnya kpda najis trhadap kulit,,buat apa Rasulullah menjelaskan dg pengkhususan bejana?

    BalasHapus

Contact Me

Adress

Ma'had Imam Al-Albani, Prabumulih, Sumsel

Phone number

+62 89520172737 (Admin 'Lia')

Website

www.abdurrahmanalamiry.com